Monday, July 14, 2008

Lajang Metropolis Yang Berbahagia (Being Single Part 1)

Hari minggu kemarin di Jawapos halaman Metropolis aku menemukan satu artikel menarik.
Ada empat wajah ganteng yang ditulis sebagai lajang metropolis. Kategorinya antara lain tampan, sukses secara karir dan finansial, dan gemar melakukan aktivitas sosial.
Yang menarik perhatianku bukanlah keempat wajah yang memang serba good-looking itu, tapi lebih kepada beberapa caption yg ada di bawah gambar-gambar itu.
Seperti biasa, kalau lajang-lajang kategori “high quality” selalu mendapatkan pertanyaan seputar wanita idaman.

Ada yang menjawab:
“Pengertian, feminin, gaul.”
“Setia, tidak mudah cemburu.”
“Tidak mengekang, tapi tetap perhatian.”
“Harus paham profesi, cantik, putih.”

Tetapi ada satu jawaban yang paling menarik bagiku:
“Wanita yang bahagia dengan dirinya sendiri.”

Wuahh. Kelihatannya simple tapi mengandung filosofi yang sangat tinggi.
Yang mengucapkan kalimat itu bernama Steven Suhadi, baru berusia 26 thn.
Entah apakah si Steven ini mengerti apa yang dia katakan?
Karena di mataku, bisa muncul 2 persepsi:

Pertama, Steven ini mungkin orang yang tidak terlalu mau direpotkan dengan tetek bengek urusan membahagiakan pasangannya. Jadi ia ingin mendapatkan pasangan yang tidak menuntut ini itu dan merepotkan dirinya yang sibuk. Kalau begitu, mungkin ia adalah orang yang egois.

Kedua, konsep yang lebih tinggi. Dia mengerti betul bahwa tiap manusia mempunyai kepenuhannya sendiri. Seumpama dua buah gelas, pernikahan yang baik sebaiknya terjadi dalam keadaan gelas itu sama-sama penuh. Bukannya sama-sama terisi separuh, lalu berharap bahwa pasangannya yang akan memenuhi separuh bagian yang kosong. Yang akan terjadi adalah salah satu gelas akan menjadi kosong! Frustasi, kekecewaan, depresi, dan sakit hati akan mewarnai kehidupan mereka.(Ada artikel dari seorang teman yang sangat bagus tentang ini, kapan-kapan akan aku post disini).

Hmm, sekiranya persepsi kedua itulah yang dimaksudkan oleh si Steven, berarti di usianya yang relatif muda itu dia memiliki pemahaman yang luar biasa, yang oleh orang-orang sepertiku saja barusan paham setelah menikah, hahaha.. Paham pun, belum tentu dapat mengamalkan dalam kehidupanku.

Sebuah cerita: 
Ada seorang kawan (sebut saja namanya X). Si X ini sudah melalui lebih dari 10 tahun pernikahan yang memberinya dua orang putri yang sudah menginjak remaja. Beberapa tahun belakangan ini suaminya menjadi sangat penuntut, dalam hal perhatian maupun fisik (seksualitas). Ada yang mengatakan puber kedua. Si X yang setiap saat dimarahi, diomeli dan dicemburui menjadi sangat ilfil dan akhirnya benar-benar kehilangan rasa kepada suaminya. Parahnya, si suami bukannya mengurangi intensitasnya menuntut ini itu, malahan semakin menjadi-jadi, sehingga kalau menurut pandanganku sudah agak “kelainan jiwa”. Si istri tidak boleh menelepon siapapun, tiap saat menuduh istrinya berselingkuh (meneriakinya di depan umum), tidak boleh mengunci pintu ketika berada di kamar mandi, dan terus-menerus mengancam akan bunuh diri kalau si istri menceraikannya (sang istri ini sekarang memang pada tahap sangat tidak tahan dan ingin segera pergi dari suaminya). Sang suami terus menerus mengatakan sangat sayang pada istrinya, cinta mati kepada istrinya. Tetapi tiap malam yang dilakukan adalah membuat istrinya merasa ketidaknyamanan yang luar biasa, siksaan berupa kata-kata maupun fisik sudah dikeluarkan semua. Bahkan pernah ia nyaris mencekik leher istrinya di saat sedang tidur, supaya si istri tidak tidur dulu dan menemani/melayaninya.

Ada yang mengatakan, si suami mungkin ingin hubungannya bisa seperti pasangan harmonis lain yang bisa berangkulan atau bergandengan mesra, anywhere, anytime. Padahal dari dulu juga si istri bukan tipe wanita yang suka dimesra-mesrai. Moody banget. Apalagi sekarang setelah ilfil! Gak blass! Jadi sekarang jurang semakin dalam dan pertengkaran menjadi makanan sehari-hari mereka. Yang suami semakin posesif dan terobsesi, si istri semakin menjauh. Sudah banyak orang yang turun tangan mencoba menasehati atau mencarikan solusi, tetapi tidak mengubah apapun.

Cerita ini aku bagikan bukan untuk menghakimi siapa yang salah.. Tapi mencoba mengaitkan dengan si gelas yang terisi separuh (atau bahkan tidak sampe separuh??) yang terus-menerus menuntut orang lain (dalam hal ini pasangannya) untuk memberikannya kebahagiaan. Jadi ia menggantungkan seluruh kebahagiaannya dari pasangannya. Orang jenis ini adalah orang yang paling mudah kecewa, mudah frustasi. Dalam tahapan rendah, ia seperti orang yang haus kasih sayang. Inginnya ditelepon, disentuh, dimanja, dan dituruti. Kalau ada yang tidak berjalan sesuai ekspektasinya, ia menjadi gampang marah dan berprasangka. Larinya bisa menjadi posesif, terobsesi dan phobia yang berlebihan. Takut pasangannya berselingkuh, takut tidak bahagia, dll.

Hal ini bukan hanya dialami dalam cerita diatas. Dalam rubrik konsultasi di koran, sering aku menemukan juga remaja-remaja yang sedang kasmaran yang berkeluh kesah karena merasa kekasihnya kurang perhatian atau pencemburu. 

Jadi, jika si Steven mengatakan calon pendamping idaman adalah wanita yang bahagia dengan dirinya sendiri, kemungkinan besar dia juga adalah pria yang bahagia dengan dirinya sendiri. Sehingga dia merasa tidak terlalu membutuhkan pendamping hanya untuk mengisi kekosongan jiwanya. Berarti dia punya nilai plus yang lebih tinggi dibanding dengan yang mencantumkan kriteria:
"pengertian" = berarti takut pasangannya salah mengerti!
"feminin" = biar tidak ada yang menyaingi ke-laki-lakian-nya!
"gaul” = biar tidak malu-maluin  dan tidak nyusahin!
"setia" = karena takut ditinggalkan!
"tidak mudah cemburu" = biar hidup damai dan bisa bergaul bebas dengan teman wanita!
"tidak mengekang" =  biar bisa melakukan apa saja!
"perhatian" = untuk memuaskan dahaga kasih sayang!
"harus paham profesi" = biar tidak dilarang-larang!
"cantik, putih"= biar gak bikin malu kalo diajak jalan!
Yang pada akhirnya, kriteria ini semua bermuara pada diri sendiri..  

Orang yang bahagia dengan atau tanpa pasangan hidup, adalah orang yang “utuh/complete”. Tahu benar apa dan siapa dirinya, dan tahu benar bagaimana menjalani hidup dengan bahagia, bukannya harus menikah atau harus pacaran supaya bisa bahagia.

Aku menulis artikel ini, bukan apa-apa. Hanya kadang gerah juga dengan desakan orangtua (tante, nenek, dll) yang menyuruhku mencarikan “jodoh” atau “kenalan” buat saudara-saudaraku yang masih menjomblo. Sepertinya setelah menikah, semua tugas sebagai orangtua sudah selesai.... Padahal tidak sedikit anak-anaknya yang telah menikah malah membuat mereka tambah sakit kepala.
Banyak juga teman-teman yang sudah masuk fase “gelisah” karena tak kunjung menikah, sehingga meminta dikenalkan dengan kenalan-kenalan yang ada. Padahal secara kehidupan mereka cukup sempurna. Hmm, gak apa sih kalo untuk melebarkan jaringan.. Asal bukan kebutuhan yang dianggap mendesak aja, hahaha..

Kembali ke “konsep bahagia”, sebenarnya sudah pernah kutuliskan dalam postingan terdahulu (Joy or Happiness). Tapi sekali lagi aku ingin sekali bisa menjadi orang yang bisa berbahagia dengan diri sendiri. Karena aku sudah punya Tuhan yang bisa memenuhi ruang hidupku, sehingga tidak ada alasan untuk tidak bahagia.

Ah, semoga saja bisa…
Dan harus bisa!


2 comments:

Anonymous said...

interesting blog

when someone is happy and understands themselves (positives and negatives) they are more confident and are able to Shine! In women who are like this their inner beauty shines through and makes them glow on the outside - making others around them feel happy and comfortable. So when you find someone who catches your heart and imagination not just your eyes, you should pursue them! but remember to always be yourself.

From S.S.

Anonymous said...

Bila kita selalu bersyukur, dari nurani timbul pengertian untuk mengerti diri kita sendiri.Setiap manusia diciptakan dengan keunikannya sendiri, dan tidak ada seorangpun didunia yang sama.

Dalam perjalanan hidup sebagian besar dari kita ingin meniru yang kita idolakan baik dari segi fisik maupun segi yang lain. Meniru saja tanpa mengerti justru menimbulkan banyak masalah. Happiness is a very basic value and always changes. We have to start from ourself. Kalau kita sendiri tidak happy (contentment), jangan mengharapkan pasangan kita bisa happy.

Dari: Ar.
18 Nopember 08