Sunday, August 26, 2007

Tiga Orang Luar Biasa



Orang ke-1:
Pria, usia sekitar 75-80 thn
Tubuh kurus, rambut memutih seluruhnya.
Wajah (kalau boleh kuistilahkan) nyaris keriput sempurna.
Ekspresi nampak kepayahan.
Tangan dan kaki terlihat tidak dapat bergerak dengan baik (lumpuh), namun pandangan mata masih nampak awas.
Duduk di kursi roda, didorong seorang gadis muda (mungkin perawatnya).
Memakai kemeja putih dan bawahan sarung kotak-kotak.
Memangku sebuah bantalan sofa 40x40 cm berwarna merah.

Orang ke-2:

Wanita, usia sekitar 65-70 thn
Tubuh sedang, rambut memutih sebagian.
Memakai tongkat dan kacamata gelap sebagian.
Berjalan dengan sangat lambat dan tertatih-tatih,
dituntun oleh seorang wanita setengah baya (orang ke-3).
Pandangannya nampak tidak terlalu baik.

Orang ke-3:
Wanita, usia sekitar diatas 50 thn.
Menggunakan setelan klasik hitam, berwajah cerah.
Senyum tersungging di bibirnya.
Jalannya sedikit ganjil (lambat dan miring), setelah kuperhatikan ternyata ada kelainan pada kedua kakinya. (Berbentuk X dan ukuran kedua kaki tidak sama).
Wanita ini berjalan sambil menuntun orang ke-2 (ibunya)
dan berusaha tetap berada di sekitar kursi roda orang ke-1 (ayahnya).

Ketiga orang ini baru kulihat seusai mengikuti kebaktian pukul 9 pagi.
Arus manusia yang antri untuk keluar ruangan dari pintu samping tidak secepat biasanya, rupanya terhalang oleh ketiga orang ini.
Mereka berjalan sangat lambat dan susah payah,
Menyebabkan antrian panjang di belakang mereka.
Tak ada kemarahan atau ketidaksabaran.
Yang ada adalah banyak hati yang tersentuh.
Kulihat beberapa jemaat menyalami kedua wanita.

Orang-orang itu...
Orang berkursi roda dan lanjut usia,
Bukanlah pemandangan baru dan aneh di komunitas ini.
Jumlah mereka cukup banyak dan telah diakomodasi oleh komisi lansia.

Aku sering memandang mereka dengan simpati dan kagum.
Meski mereka datang dengan fisik yang terbatas.
Meski harus duduk di atas bantal khusus.
Meski datang dengan tangan digips (ketuaan mereka membuat mereka mudah patah tulang jika terjatuh).
Meski tak sanggup berdiri ketika liturgi meminta berdiri.
Meski suara dan pandangan mata telah begitu terbatas.
Namun dengan semangat masih melagukan pujian.

Hari ini,
Yang kurasakan jauh melebihi itu.
Kotbah yang sedikit formal, hari ini tak menyentuh hatiku.
Mungkin karena sisa-sisa rasa kantuk.
Atau banyak pikiran yang mengganggu konsentrasiku.

Hatiku tersentuh,
Justru di antrian pulang.
Ketika terjadi kelambatan di barisan keluar ruangan.

Hatiku bersukacita,
Melihat ketiga orang luar biasa itu berjalan tertatih-tatih.
Dengan lambat dan susah payah,
Sembari menerima uluran tangan beberapa jemaat yang menyalami.

Hatiku meluap bangga,
Karena ketiga orang ini berjalan dengan keindahan yang memancarkan keyakinan.
(Slowly but sure...)
Meski kaki melangkah tak kokoh.
Sehingga membuat orang yang ingin membantu pun
Merasa tak layak membantu.
Atau sesungguhnya..
Lebih perlu dibantu daripada ketiga orang ini ??

Hatiku merasa teriris,
Karena dalam kesehatan tubuhku,
Aku sering berkompromi.
Berkompromi dengan rasa kantuk, capek atau malas.
Berkompromi untuk tidak mendengar-Nya dan melayani-Nya.

Hatiku merasa malu,
Karena dengan kondisi tubuhku
Dengan gampangnya aku hendak keluar masuk ruangan ini
Duduk di mana saja aku ingin duduk
Berdiri dan duduk secepat yang diinginkan liturgi.
Menyanyi setengah hati meski dapat bersuara lantang.
Bernapas lega ketika ibadah berjalan tak terlalu panjang.
Dan pulang secepat aku bisa.

Aku merasa malu untuk diriku.
Aku merasa malu untuk orang-orang sepertiku.
Yang kuharap tidak terlalu banyak jumlahnya di tempat ini  ^_^

Yang merasa sehat.
Yang merasa kuat.
Yang merasa muda.
Yang merasa lincah.
Yang merasa pandai.
Yang merasa baik.
Yang merasa banyak tahu.
Yang merasa banyak kawan.
Bahkan yang merasa tidak perlu tahu
Dan tidak butuh banyak kawan.

Sehingga mudah sinis ketika kebenaran diungkapkan.
Sehingga mudah tertawa melihat kenaifan orang-orang yang mengasihi-Nya.
Sehingga mudah kompromi ketika keinginan daging meminta jatah lebih.
Sehingga mudah berpaling ketika merasa tak dikasihi.
Sehingga mudah menyerah ketika masalah sebesar biji kacang terasa sebesar gunung.

Terima kasih Opa X dan Oma X
(Aku bukanlah aktivis gereja yang mengenal banyak orang sehingga tak tahu nama mereka, maafkan…)
Terima kasih, Tante berkaki X.
Karena lewat perjumpaan yang tidak sampai 5 menit saja.
Banyak hal yang bisa kurenungkan.

Tentang kecintaan, kebanggaan, ketulusan.
Tentang komitmen dan konsistensi.
Tentang mau belajar dan mau mengambil bagian.
Tentang dikasihi dan mengasihi-Nya,
dalam kenaifan seorang anak kecil
dan kebijaksanaan seorang yang banyak usia.




0 comments: