Monday, July 16, 2007

Mask Depression

(Artikel ini bukan tulisan saya, tapi saya ambil dari blog seseorang. Soalnya menggelitik dan menarik sih..
Nuwunsewu ya mbak Okky.. si-eneng@blogspot.com )


Depresi Terselubung atau Mask Depression. Jujur, saya belum pernah mendengar istilah ini sebelumnya. Sampai pada suatu sore di sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, saya bertemu salah satu sobat baik saya ketika kami masih sama-sama duduk di sekolah dasar.

Sepotong kejutan yang menyenangkan :) Setelah 17 tahun lost contact dan baru berjumpa lagi dengannya secara maya di dunia Friendster, akhirnya baru kali ini kami benar-benar bertemu secara fisik. Pertanyaan standar selain apa kabar adalah "Gimana, loe udah married, belum?" Hahahaha... wajar sih, secara tahun ini saya mulai memasuki usia 30 dan menjomblo (halah).

Reaksi saya agak berbeda ketika sambil tertawa ia mengatakan,
"Ah, payah loe, hari gini masih ngejomblo. Gue aja udah dua kali nikah!"

Haa??? Dua kali menikah? Iya, jadi sobat perempuan saya ini pernah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya gagal. Dia cerai gara-gara suaminya selingkuh dengan temannya (canggihnya, perempuan yang diselingkuhi suaminya adalah temannya juga). Singkat kata, dia cerai dalam usia cukup muda, punya bayi laki-laki berumur enam bulan, dan tidak memiliki penghasilan karena selama menikah ia hanya menjadi ibu rumah tangga yang setia dan melayani suaminya dengan baik dan benar. Tapi sekarang dia sudah bahagia, karena tahun lalu dia sudah menikah dan bertemu lelaki yang benar-benar menyayanginya.

Dan mulailah dia bercerita banyak tentang kehidupannya. Mulai dari perselingkuhan suami pertamanya, perceraiannya, penyakit kanker yang dideritanya, anaknya, pokoknya banyaklah. Sampai ada satu bagian cerita hidupnya yang membuat saya tertarik. Jadi, sekitar tahun 2005, dia bolak-balik sakit dan dirawat di rumah sakit. Sakitnya simpel, cuma sakit panas dan demam tapi tak kunjung sembuh-sembuh. Dalam satu bulan, dia bisa puluhan kali bolak-balik masuk rumah sakit.

Akhirnya si dokter melakukan pemeriksaan secara keseluruhan. Dan didapat kesimpulan yang mengejutkan. Kata si dokter dia menderita depresi terselubung. Wah 3x...arahnya, dia sempat diberi rekomendasi untuk masuk rumah sakit jiwa.
Intinya, pasca perceraian pertamanya, teman saya itu berkata bahwa ia tidak sempat sedih. Terlalu sibuk mengurusi perceraian, memikirkan hidupnya dan anaknya yang masih bayi.

"Gue nggak ada waktu buat sedih. Jadi pada masa-masa proses perceraian dan pasca perceraian itu, gue nggak sempet mikirin sakit hati gue dan kesedihan gue. Dan imbasnya ternyata dua tahun kemudian gue divonis dokter menderita depresi terselubung," begitu katanya.

***
Katanya, depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, perasaan tidak berguna, putus asa, pokoknya yang sedih-sedihlah. Menurut informasi yang saya baca, penderita depresi terselebung jumlahnya semakin meningkat. Data di WHO menunjukkan bahwa 5 - 10% dari populasi masyarakat menderita depresi dan memerlukan pengobatan psikiatri dan psikososial. Untuk perempuan angka depresi lebih tinggi lagi yaitu 15 - 17% (masya alloh). Masalahnya adalah hanya lebih kurang 30% penderita depresi yang terdiagnosis dan mendapat terapi yang memadai.

Dari sebuah situs yang saya baca, depresi terselubung merupakan gejala perasaan tertekan dalam diri orang-orang yang secara keseluruhan normal. Hmm... persis seperti yang dialami teman saya itu. Meskipun terjadi pada orang-orang normal akan tetapi rasa tertekan ini akan mempengaruhi keseluruhan perilakunya. Dan bila dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin keadaan depresi terselubung ini akan menjadi depresi yang sebenarnya. Yang paling menakjubkan, dalam kadar tertentu, gejala depresi terselubung ini kebanyakan tidak disadari oleh yang bersangkutan.

***

Kembali ke cerita teman saya tadi. Ia memang kaget ketika dokter memvonisnya bahwa ia menderita penyakit depresi terselubung. Pasalnya, kejadian yang menyakitkan dengan mantan suaminya itu telah lama berlalu. Dan so far, ia merasa baik-baik saja. Tidak sampai pada tahap gila dan ingin balas dendam seperti yang ada di sinetron-sinetron lokal.

Atas saran dokter, ia mulai ke psikolog dan ikut terapi self healing. Dari konsultasi dan self healing yang ia ikuti, selain sudah merasa sembuh, ia juga mendapatkan pengetahuan baru.
Pada dasarnya, alam bawah sadar kita itu ternyata lebih kuat dari alam sadar kita. Jangan pernah memendam kemarahan, sakit hati, dan kesedihan. Karena ketika rasa itu ditekan dan tidak terluapkan, alam bawah sadar kita menjadi mudah depresi. Itulah awalnya gejala depresi terselubung. Imbasnya ya ke fisik, jadi sakit-sakitan meskipun informasi obyektif medis mengatakan tidak ada yang salah dalam fisik kita.

Ada kalanya kita harus meluangkan waktu untuk bersedih, marah, kesal, sakit hati, atau kecewa. Hanya saja, yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana kita melepaskan dan melampiaskan rasa itu dengan tepat.

"Depresi terselubung yang gue alami seolah membalas semua kesedihan-kesedihan gue yang sempat terlewatkan dan gue abaikan."

Begitulah kalimat terakhir yang sempat ia katakan sebelum akhirnya kami berpisah dan berpelukan.

0 comments: